Akhir tahun selalu disertai libur panjang. Akan tetapi,
tidak berlaku bagiku, karena di luar dugaan bahwa skripsiku sampai detik ini
tidak mengalami perkembangan. Selama mencari sudut pandang positif mengenai
lamanya penyusunan skripsi, bagiku tidak masalah lulus lebih lama dari pada
teman-teman yang lain. Walaupun seandainya tidak ditemukan sudut pandang
positif mengenai hal itu, maka aku buat sendiri saja, ini hidupku, bukan
hidupmu, dan hanya aku yang berhak mengatur. Banyak hal positif yang aku
dapatkan dari lambatnya penyusunan skripsi, kisahku lebih kaya dari pada
teman-teman yang sudah lama lulus, walaupun secara prestasi akademik aku kalah
telak dari mereka. Inilah hidup, aku
hanya memilih hal yang sekiranya membuat hidupku menjadi lebih baik, bukan
mencari pujian sementara yang efeknya hilang seiring berjalannya waktu.
Menjelang tanggal merah 25 Desember, kebetulan semangat skripsi sedang bergejolak, bahkan hampir tumpah karena waktu 24 jam dalam sehari diisi sebaik mungkin, tidur pun sekitar 3 sampai 4 jam per hari, kadang tidur 1 jam karena pikiran yang selalu dihantui ilusi. Tidak ada niat sedikit pun untuk pulang liburan ke Bandung di saat semua anggota keluarga sedang libur. Aku hanya ingin bercinta dengan skripsi mentahku, sampai benar-benar melahirkan skripsi utuh. Di luar dugaan, ternyata pihak lain yang terlibat dalam penyusunan skripsiku sedang sibuk, sulit ditemui, padahal aku hanya ingin bertemu sekali saja, lalu ingin mendengar darinya apa langkah selanjutnya yang harus aku lakukan. Tujuannya, supaya di tanggal liburan aku bisa mengisi waktu dengan hal yang lebih berguna dengan skripsi. Pikiran kotor pun mulai mengacaukan pikiran. Sambil emosi, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jika garap skripsi sendiri, aku trauma, terakhir kali aku melakukan itu konsep tertulisku ditolak mentah-mentah, padahal konsepku disusun dengan pertimbangan dan perbandingan dengan karya-karya ilmiah yang sudah jadi. Aku tidak mau menyalahkan siapa pun selain diri sendiri, karena posisiku sekarang sebagai murid yang belum mengerti sepenuhnya mana benar dan mana salah.
Pikiranku kusut, benar-benar kusut, pandanganku kosong
disertai ngantuk yang tidak dirasakan secara paksa karena sedang kecewa, hanya
menghadap ke depan sambil mengendarai sepeda motor tanpa tujuan. Akhirnya
memutuskan untuk mampir ke tempat teman yang kebetulan orangnya ada. Rencananya
mau balik ngampus lagi, nongkrong-nongkrong lupakan masalah, tetapi mata
tiba-tiba terpejam sampai hampir tengah malam. Mungkin jasadku sudah sampai
batas kemampuannya, setelah berhari-hari dipenuhi semangat. Setelah bangun
langsung pulang ke Bantul, kontrakan terindah yang mampu menenangkan setiap
emosi. Tak lupa membeli makan di pinggir jalan karena seharian tidak makan.
Sampai di rumah, sambil makan, aku berpikir untuk ganti skripsi ke sastra
seperti kebanyakan teman-teman yang telah lulus. Emosiku labil, yang
terpikirkan hanya profit untuk sesaat. Tidak peduli keputusanku benar atau
salah, saat itu juga aku langsung menghubungi teman untuk meminjam buku kajian
sastra, buku untuk analisis karya prosa. Terkesan mudah, menjelang tengah malam
temanku masih bersedia membalas sms yang sebelumnya tidak dapat ditelepon, dan
bersedia meminjamkan 2 buku sekaligus.
Masalah ganti tema skripsi dari linguistik ke sastra tidak
terlalu aku anggap serius. Baca 2 buku kajian sastra hanya merupakan rencana
saja, sebagai persiapan jika seandainya di masa depan benar-benar ganti tema ke
sastra, supaya tidak kebingungan. Aku pikir melepaskan linguistik sama dengan
membatalkan kemungkinan hal yang membuatku besar dan bermanfaat di masa depan. Namun,
hal itu dapat aku bantah, aku dapat membuat kemungkinan lain, mungkin sastralah
yang dapat mejadikanku besar dan bermanfaat di masa depan. Ambil positifnya
saja, dengan mengambil linguistik sebagai tema skripsi, aku jadi sedikit paham
linguistik, karena sebelumnya sama sekali tidak mengerti linguistik, bahkan
mungkin benci. Di SMA juga tidak menyukai pelajaran bahasa, dan lebih menyukai
sastra. Kajian sastra bagiku tidak terlalu berat, bukan berarti mudah, dulu di
SMA pernah 2 tahun berturut-turut dilatih untuk analisis karya sastra berupa
prosa dan puisi. Hanya saja ilmu sastra di SMA berupa garis besarnya saja,
tidak seperti di perguruan tinggi yang lebih
detail sampai harus dipilih aliran kajian sastra mana yang mau dijadikan teori
analisis. Tidak ada ruginya aku membaca 2 buku kajian sastra, bahkan aku harus
bersyukur karena pengetahuanku bertambah. Ingat perkataan orang bijak tentang
manusia, bahwa setiap orang punya potensi, potensi yang dimiliki harus
dikembangkan dan jangan dibandingkan dengan orang lain, tetapi dari segi
pengetahuan tidak hanya spesialis sebagai hasil dari pengembangan potensi, di
samping spesialis diharuskan generalis yang menerima pengetahuan lain atau
informasi apa pun, kemudian semuanya disyukuri. Hal yang positif bagiku,
membaca 2 buku kajian sastra dapat menambah pengetahuan, serta mengisi waktu
dengan hal yang baik.
Baru saja sampai Bantul dari Yogya, dan harus kembali lagi
ke Yogya untuk mengambil buku. Rencanaku harus matang, ke Yogya jangan hanya
ambil buku. Aku putuskan untuk berkelana beberapa hari, berkelana tanpa tujuan
menapaki jalanan pulau Jawa. Bayanganku bakal seru, berkelana sambil membawa
buku untuk dibaca di perhentian entah di mana. Buku sudah di tangan, dan sepeda
motor pun dijalankan sesuai kata hati. Bodohnya aku mengambil arah ke barat,
dan sangat berpotensi untuk pulang ke Bandung. Hal itu benar terjadi, beberapa
jam di jalan lancar-lancar saja, sampai akhirnya terlintas pikiran tentang apa
yang sedang aku lakukan. Pulang ke Bandung lebih baik, hemat pengeluaran, dan
aku bisa beristirahat bersenda gurau bersama keluarga. Dari awal aku tidak mau
pulang ke Bandung karena di sana terlalu nyaman, sama sekali tidak produktif,
dan aku tidak mengalami perkembangan dalam hal apapun. Akan tetapi, aku ingin
coba merubah kebiasaan buruk di kampung
halaman, targetnya 2 buku yang dipinjam harus dapat dipahami.
Masalah baru muncul di Bandung. Aku tidak biasa belajar dan
membaca di rumah. Jika itu dilakukan, maka rasanya aneh, bercampur berbagai
perasaan antara malu, gengsi, dan perasaan yang sulit diungkapkan. Hanya ada 3
opsi sebagai solusi, ke rumah nenek, Candi, atau Srewen. Rumah nenek jadi opsi
paling akhir, dan aku pun pergi ke Candi dengan hasil pertimbangan jarak,
jalan, dan tempat. Sedikit informasi, Cicalengka punya Candi, tetapi sayangnya
bukan Candi tempat ibadah, hanya saja bentuknya dari kejauhan mirip Candi, dan
masyarakat terbiasa menyebutnya Candi. Tempatnya lumayan bagus, dataran tinggi,
udaranya segar, hamparan pemukiman dan sawah terlihat kecil, jelas, dan indah. Sayangnya,
ketika sampai di sana, ada sepasang kekasih yang sedang berkencan padahal masih
pagi hari, sedikit jauh dari pinggirnya ada orang yang lagi foto-foto, dan
cukup jauh di belakangnya ada 2 orang yang sepertinya sedang merencanakan
proyek. Hal yang tidak biasa, karena biasanya pagi hari sepi pengunjung. Rasanya
tidak nyaman jika ada mereka. Tujuan pun dialihkan ke Srewen, gunung yang
kebetulan ada jalan beraspal, tetapi diportal supaya kendaraan roda empat tidak
seenaknya masuk, dan ujung aspal paling atas ada tower yang identitasnya
misterius sampai sekarang, atau mungkin hanya aku saja yang sampai sekarang tidak
tahu identitasnya. Seperti itulah kebanyakan gunung di Bandung, bisa didaki
dengan menggunakan kendaraan. Sebenarnya, Candi dan Srewen terbiasa jadi tempat
joging minggu pagi dan jum’at siang oleh masyarakat, dan dulu waktu aku kecil
cukup sering joging ke sana, terakhir SMP, sampai sekarang tidak pernah lagi.
Candi Cicalengka (Dok. panoramio.com)
Selatan Candi Cicalengka (Dok. ceritarie.wordpress.com)
Selatan Candi Cicalengka (Dok. nuhanuhaa.wordpress.com)
Utara Candi Cicalengka (Dok. Pribadi)
Srewen tidaklah buruk, tetapi pilihan tetap condong ke
Candi, mungkin karena Srewen terlalu sepi, hanya ditemani para petani yang
memanjakan ladangnya di perut gunung. Berbeda dengan Candi yang selalu dilalui
kendaraan, karena jalan aspal di sana adalah jalan utama antar desa. Besok pagi
pergi lagi ke Candi, selama 2 buku belum selesai tetap harus bulak-balik setiap
hari. Di luar perkiraan, hamparan tanah di Candi basah, dan itu tidaklah
nyaman, dapat membuat sepeda motor dan sandalku sangat kotor. Sekali lagi putar
balik ke Srewen, dan untuk seterusnya di setiap harinya selalu bertapa di
Srewen. Jarak Candi dengan Srewen cukup jauh, berlawanan arah mata angin barat
dan timur, dan rumahku berada di tengah sedikit selatan dari keduanya.
Dari Srewen Cicalengka (Dok. Pribadi)
Srewenlah tempatku bertapa setiap pagi. Menghilang
dari masyarakat, bahkan keluargaku saja tidak tahu aku pergi ke mana. Selain
membaca, aku merenung, saling berdebat antara pikiran dengan hati, menenangkan
diri, melihat para petani yang selalu datang lebih pagi. Satu hal pertanyaan
muncul ketika mencoba lebih memahami alam di sana, kenapa harus cari tempat
wisata atau gunung pendakian yang jauh di saat ada yang lebih dekat dengan
rumah? Aku cukup suka mendaki gunung dan berwisata alam, dan akhir-akhir ini
kebingungan harus pergi kemana karena tempat wisata alam di Yogya terasa bosan.
Anehnya, tidak terpikirkan untuk berwisata ketika berada di Bandung. Mungkin
karena aku menganggap alam di sana biasa saja, bukan tempat wisata. Bodoh, aku
kurang bersyukur, dari dulu tidak menyadari alam di kampung halamanku sangat
kaya dan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar