Minggu, 28 Maret 2021

5% LEFT

Gagal. Semua tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Aku tak tahu harus menerima kegagalan ini atau bangkit dan memulai kembali. Aku tahu bahwa kegagalan adalah sebuah akhir, dan diriku kini belum sepenuhnya berakhir. Aku seperti low battery dengan sisa daya 5%. Hanya sedikit harapanku untuk bangkit, untuk menggagalkan apa yang aku anggap gagal. Jika tidak ada solusi, jika tidak ada pergerakan, maka semuanya akan berakhir. 
 
Inilah nasib seorang idealis. Orang yang mempunyai gagasan sendiri tentang kehidupan. Gagasan yang mungkin bertolak belakang dengan mayoritas masyarakat. Pernah aku mendengar nasihat bahwa orang yang tidak mengikuti zaman akan terlindas. Seperti ikan salmon yang melawan arus air dan meloncat, lalu berakhir jadi santapan beruang. Dan inilah aku. Hampir berakhir tragis di tangan idealismeku sendiri. 
 
Hanya seorang idealis hebat yang berhasil hidup tanpa menanggalkan idealismenya. Itu bukanlah aku yang sekarang. Menjadi seorang idealis tidaklah mudah. Harus mengorbankan banyak pikiran, tenaga, dan tak kalah penting adalah mental. Karena mental seperti ujung tombak seorang idealis. Tak peduli seberapa besar pikiran dan tenaga, jika mental lemah, maka hancurlah semua. 
 
Aku sadar masalah terbesarku adalah mental. Aku belum mampu mengabaikan berbagai komentar. Yang terburuk adalah aku belum mampu mengabaikan pikiran negatifku sendiri. Semuanya terjadi karena ulah pikiranku. Seandainya aku mengabaikan semuanya, membawa semua hal yang masuk ke dalam pikiranku dengan santai tanpa perasaan, dan menganggap semua hal negatif sebagai lelucon, mungkin semangat idealismeku tidak akan luntur, tidak akan berhenti walaupun sejenak. 
 
Aku hampir menyerah. Muncul keinginan untuk membuang idealisme. Keinginan untuk hidup seperti orang lain yang terkesan tidak ambil pusing dengan kehidupan. Pola kehidupan yang terlihat serupa. Lahir, sekolah, kerja, menikah, berkeluarga, dibumbui berbagai masalah dan kesenangan, kemudian mati. Bukan berarti idealismeku tidak ingin melakukan itu semua. Aku pun ingin sekolah, ingin kerja, menikah, dan menjalankan apa yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang. Hanya saja aku ingin menjalankannya dengan cara sedikit berbeda. Aku tak suka gengsi. Aku tak suka hierarki. Aku tak suka orang yang membeda-bedakan manusia atas dasar jabatan, profesi, harta, atau apapun sebutannya. Aku tak suka orang yang menertawakan orang lain atas dasar itu semua. Dan idealismeku berkata bahwa aku harus melakukan hal yang biasa disepelekan orang-orang, dengan syarat meraih hasil melebihi kesuksesan mereka yang bisanya hanya menertawakan. Karena menjadi seorang idealis sama halnya dengan menjadi bahan tertawaan. Hanya keberhasilanlah yang mampu membungkam semua. 
 
Mentalku tersisa 5%. Masih bimbang menentukan untuk menjadi aku dengan karakterku sendiri, atau mengubah haluan menanggalkan idealisme dan bergabung bersama mereka untuk bersama-sama “menertawakan”. Tak ada yang salah, karena setiap unsur mempunyai peran manfaat. Sudut pandanglah yang membuat semuanya salah. Hal terberat yang menjadi bahan pertimbangan, semua yang aku perjuangkan selama ini akan menjadi sia-sia jika aku menyerah, dan aku perlahan akan berubah menjadi orang yang aku tidak suka. Jika tidak ingin berubah, yang paling aku butuhkan adalah motivasi, dukungan, atau cara terakhir adalah menjadi lebih gila dari aku yang sekarang. 
 
Tidak ada salahnya menjadi seorang idealis. Tanpanya, mungkin hanya akan ada meja tanpa kursi, kapal tanpa pesawat, radio tanpa tv, dan mungkin hanya akan ada kanan tanpa kiri. Karena dari seorang idealislah muncul berbagai karya inovasi. Dan itu bukanlah diriku yang sekarang. Diriku yang idealismenya luntur tersisa 5% sambil terkapar membusuk mengurung diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar